Minggu, 10 Desember 2017

Mind Mapping Filsafat lengkap


Sekarayu Puspita Sari
17410199

M.Sofi Al Umam
17410162
 






Ade Hilda agustina
17410191




Vina Anjarsari
17410188




Miftahul Afiyah Maspeke
17410165


Mauliyatul Mukarromah
17410186




Ahmad Fahmi Idris
17410180



Sabtu, 09 Desember 2017

PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN



PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Sunday Three Rosyanti (17410181)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Jl. Gajayana No. 50, Dinoyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144

Abstrak : Kuhn mengatakan bahwa paradigma ialah pandangan atau prinsip yang didukungi bersama oleh sekumpulan ahli sains (sosial atau tulen). Cara Kerja Paradigma Ilmu Pengetahuan menurut Khun ada tiga tahapan yaitu, (a) Tahap Pertama: paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktifitas ilmiah dalam masa ilmu normal. (b) Tahap Kedua: menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. (c) Tahap Ketiga: peran ilmuan bisa kembali lagi pada cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktifitas ilmiah berikutnya[1].  Tata cara memperoleh pencapaian ilmiah suatu pengetahuan tertentu selalu memerlukan riset yang oleh masyarakat ilmiah tertentu  dinyatakan sebagai fundasi bagi praktik ilmiah selanjutnya. Paradigma dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, hasil penelitian arkeologis secara langsung bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Kata Kunci : Paradigma, Ilmu, Pengetahuan.

Latar Belakang
Paradigma dalam bahasa inggris disebut paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut Paradigme , istilah tersebut berasal dari bahasa latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis, para berarti (di samping, di sebelah) dan deigma berarti (memperlihatkan yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal). Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu.
Istilah ilmu dalam pengertiannya dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat atau asal usul. Istilah pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab (causa) diambil dari kata yunani “aitia”, yakni prinsip pertama. Rizal Mustansyir menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar, ilmu pengetahuan memiliki dua aspek, yaitu subjektif dan objektif.
Dalam artikel ini dibahas (a) pengertian  Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan menurut para ahli, (2) Cara Kerja Paradigma Ilmu Pengetahuan, (3) Tata Cara untuk memperoleh dasar pembenaran, (4) Hubungan Paradigma dengan Ilmu Pengetahuan.
 Istilah paradigma dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution pada tahun 1962. Paradigma ilmiah, menurut Kuhn, adalah konstalasi hasil-hasil kajian yang terdiri atas seperangkat konsep, nilai, teknik, dan lainnya, yang digunakan secara bersama oleh suatu komunitas ilmiah untuk menentukan keabsahan problem dan solusinya. Capta (1991) memperluas definisi Kuhn menjadi paradigma sosial, yaitu berupa kumpulan konsep, nilai, persepsi, dan praktik yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas yang membentuk suatu visi realitas yang menjadi landasan bagaimana komunitas itu mengatur dirinya sendiri”.[2]
Thomas Kuhn (1970) differentiates among the sciences by the extent to which they have a developed paradgm or shared theoretical structures and metodhological approach about which  there is a high level of consensus”. To this point, most, if not all, of the existing research has been devoted to operationalizing the concept of paradigm development, seeing if there really are differences in the sciences in term of the amount of consensus, and examining the effects of paradigm development on a range of outcomes.[3]
Kuhn mengatakan bahwa paradigma ialah pandangan atau prinsip yang didukungi bersama oleh sekumpulan ahli sains (sosial atau tulen). Paradigma yang dipegang akan membantu para penyidik dalam pembentukan metodologi kajian dan juga dalam penafsiran data kajian yang diperoleh[4]. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan suatu kerangka konseptual, nilai, teknik dan metode yang disepakati dan digunakan oleh suatu komunitas untuk memahami semesta.
Ikatan para penyidik atau ahli-ahli sains kepada sesuatu paradigma yang tertentu mendatangkan kesan positif dan negatif. Kesan positifnya akan menyebabkan fenomena tumpuan dikaji secara mendalam untuk berbagai situasi dan dari berbagai aspek. Kesan negatifnya pula ialah ia boleh menghalang para pengkaji menggunakan cara lain untuk melakukan penganalisisan terhadap subjek atau bahan kajian. Walaupun penyelidikan yang dihasilkan oleh penyelidik-penyelidik daripada paradigma tertentu mungkin mendalam, tetapi seringkali tersekat dari segi keleluasaannya.[5]
Kewujudan paradigma dalam disiplin-disiplin ilmu merupakan satu fenomena yang umum untuk semua disiplin, ada yang tergolong dalam sains tulen (sains formal) atau sains sosial. Contohnya dalam disiplin sains fisik terdapat paradigma Copernicus, Newton, Lavoisier, dan Einstein . Dalam disiplin psikologi, wujud paradigma yakni strukturalisme, behaviorisme, neo-behaviorisme, fungsionalisme dan sebagainya. Dalam disiplin psikolinguistik pula terdapati dua paradigma yang utama yaitu mentalisme dan behaviorisme. Kewujudan dua paradigma utama ini memberi implikasi yang besar kepada penyelidikan-penyelidikan dalam bidang linguistik, yaitu mewujudkan dua cara utama untuk menafsir berbagai fenomena bahasa. Kedua-dua golongan ahli psikolinguistik, yaitu yang berpegang kepada paradigma mentalis dan behavioris, menguraikan fenomena-fenomena bahasa dengan cara yang seringkali bertentangan antara satu sama lain. Pertentangan ini paling terlihat semasa mereka menguraikan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan penguasaan sistem-sistem bahasa pertama seseorang, kanak-kanak.[6]  
Paradigma juga memiliki fungsi utama,“Fungsi utama paradigma adalah sebagai acuan dalam mengarahkan tindakan, baik tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Sebagai acuan, maka lingkup suatu paradigma mencakup berbagai asumsi dasar yang berkaitan dengan aspek ontologis, epistimologis dan metodologis. Dengan kata lain, paradigma dapat diartikan sebagai cara berpikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view). Seorang pribadi dapat mempunyai sebuah cara pandang yang spesifik, tetapi cara pandang itu bukanlah paradigma, karena sebuah paradigma harus dianut oleh suatu komunitas”.[7] Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa paradigma memiliki fungsi utama mengarahkan tindakan sehari-hari ataupun tindakan ilmiah yang digunakan oleh suatu komunitas.
Kuhn memaparkan bahwa semesta termasuk aliran konstruktivisme. “Teori Kuhn bahwa semesta tergantung kepada paradigma yang dianut tergolongkan ke dalam aliran kontruktivisme, suatu aliran filsafat ilmu pengetahuan yang memandang semesta secara epistemologis sebagai hasil konstruksi sosial, bukan sebagai sesuatu yang ditemukan (telah ada sebelumnya). Konstruktivisme membangun perspektif tentang adanya keterkaitan antara objek dan subjek dan adanya peran pikiran dan pengaruh subjektivitas dalam mengontruksi semesta. Objek dan fenomena alam pada dasarnya tidak pernah berubah semenjak penciptaannya, tetapi persepsi kita terhadap kehadirannya dapat berubah sesuai dengan kerangka konseptual (atau paradigma) yang kita gunakan untuk memahami dan menjelaskan objek atau fenomena itu”.[8] Aliran konstruktivisme memiliki keterkaitan antara objek, subjek, peran pikiran.
Namun aliran Konstruktivisme bertentangan dengan aliran Positivisme.   pengaruh subjektivitas yang mengontruksi alam semesta.“Positivisme mensyaratkan adanya keterpisahan subjek dan objek yang ditelitinya, serta menetapkan prosedur ketat yang terkontrol untuk menghasilkan pengetahuan yang objektif. Keterpisahan subjek dan objek yang menyebabkan ilmu pengetahuan dianggap bebas nilai, kebenaran yang diperoleh oleh ilmu pengetahuan bersifat objektif. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. Aliran Positivisme menisbikan kenyataan adikodrati,karena menganut paham determinisme atau keteraturan alam semesta. Semesta adalah sama dengan yang kita persepsi dan tidak ada sesuatu di belakang fenomena alam”.[9] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bawa Aliran Positivisme melihat kebenaran sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang objektif dan semestanya direduksi menjadi fakta-fakta berbeda dengan Aliran Konstruktivisme yang hanya mengakui adanya “kebenaran ganda”.
Perlu ditambahkan di sini, bahwa tidak ada cara untuk mempertemukan atau mendamaikan dua paradigma, karena setiap paradigma memiliki acuan serta premis dasar yang berbeda. Yang dapat dilakukan hanyalah dialog antarpenganut paradigma. Dialog dimaksud bukan untuk menemukenali dan menyepakati paradigma yang paling benar, tetapi untuk memperluas wawasan dari penganut paradigma-paradigma itu”.[10]

     1. Cara Kerja Paradigma Ilmu Pengetahuan
                   Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner.
         Menurut Khun cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan kedalam
         tiga tahap. Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktifitas ilmiah dalam 
         masa ilmu normal. Tahap Kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari
        para ilmuan terhadap paradigma. Tahap Ketiga, peran ilmuan bisa kembali lagi pada cara 
        ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma yang dipandang  
        bisa memecahkan masalah dan membimbing aktifitas ilmiah berikutnya[11].
Berdasarkan konsep mengenai ilmu dan konsep pengetahuan di atas, kita dapat mengambil titik tengah dari keterpaduan antara ilmu dan pengetahuan. Menurut Guston Bachelard yang dikutip Rizal Mustansyir dan Misnal Munir menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum penikiran dengan dunia luar. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan mengandung dua aspek, yaitu subjektif dan objektif, sekaligus memerlukan kesamaan antara keduanya.[12] Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi meruakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Maka, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan serta telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pegamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut.[13]
Dengan demikian berbicara tentang ilmu pengetahuan dikembangkan untuk meningkatkan harkat hidup manusia, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Masalahnya, manusia sering memiliki rasa serakah, sehingga ilmu pengetahuan tidak jarang digunakan untuk memenuhi kepentingannya sendiri walaupun dengan cara mengorbankan orang lain. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Karena itulah ilmu pengetahuan harus memiliki etika atau kode etik ilmu pengetahuan. Dalam mempelajari etika ilmu pengetahuan, masalah yang menjadi perhatian utama adalah masa utilitarisme. Utilitarisme adalah nilai praktis kegunaan ilmu pengetahuan. Dalam konteks utilitarisme, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam rangka memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan semua manusia. Dari situlah perlu ada rasa keadilan dalam penerapan ilmu pengetahuan.[14]

2. Tata cara untuk memperoleh dasar pembenaran
               Pencapaian ilmiah suatu pengetahuan tertentu selalu memerlukan riset yang oleh 
      masyarakat  ilmiah tertentu  dinyatakan sebagai fundasi bagi praktik ilmiah selanjutnya. Apa yang      dicapai harus bersifat baru, belum pernah ada sebelumnya. Selain itu pencapaian tersebut 
     bersifat terbuka sehingga praktek selanjutnya oleh kelompok praktik ilmiah menjadi satuan 
     fundamental bagi yang mempelajari perkembangan ilmu tersebut. Satuan ini tidak dapat direduksi 
     sehingga secara logis satuan ini menjadi komponen kaidah dan standar praktik ilmiah  
     paradigma.[15]
Tata cara untuk memperoleh dasar pembenaran seperti telah dikemukakan membuat ilmu pengetahuan memiliki kecenderungan besar untuk bertambah, berkembang dan mengalami pemurnian kadar keberadaannya. Di samping itu kecenderungan itu tampaknya juga didorong oleh (1) suatu pengetahuan, apa lagi yang baru, yang membuat orang bertanya-tanya dan mendorongnya untuk menelusuri pengetahuan itu lebih lanjut, (2) kebenaran sering merupakan tantangan untuk pengujian, yang memang terbukti salah maupun benar.[16] Dalam masyarakat modern, politik umum kebenaran (politique general)  ditandai oleh lima karakteristik dasar. Yang pertama, kebenaran difokuskan pada wacana ilmiah serta intuisi-intuisi yang menghasilkannya. Yang kedua, kebenaran tunduk pada tuntutan atau pengarahan pihak-pihak yang berperan dalam ekonomi dan politik. Yang ketiga, kebenaran berkembang melalui intuisi pendidikan dan informasi yang terdapat dalam masyarakat. Yang keempat, kebenaran dihasilkan serta disebarluaskan dibawah kontrol atau dominasi beberapa gelintir aparat ekonomi ( universitas, militer, penulis, media)yang secara ekslusif. Yang kelima, kebenaran menjadi isu semua kebenaran politik dalam pertentangan atau perdebatan ideologis dan sosial.[17]

   3. Hubungan Paradigma dengan Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan tidak hanya dapat dikembangakan dengan melakukan penambahan-penambahan secara eksklusif semata, tetapi perkembangannya dapat juga melalui penolakan-penolakan yang ada padanya, oleh Khun (1972) disebut dengan paradigma atau matrik disiplin. Paradigma terdiri dari asumsi dan prinsip ontologis dan epistimologi. Sehingga para pendukung ilmu pengetahuan saling mempertahankan paradigma yang diyakini, dengan demikian memunculkan kelompok-kelompok dalam ilmu pengetahuan. Keberadaan kelompok tersebut memberikan pelajaran adanya perbedaan pendapat dan upaya untuk menjelaskannya dengan berbagai fakta. Secara tidak langsung perbedaan juga menggambarkan akan adanya multikulturalisme dalam satu masyarakat. Kegiatan ilmiah secara umum terdiri dari upaya-upaya untuk memperluas pengetahuan mengenai fakta-fakta yang ditunjukkan melalui pengamatan yang cermat. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat membangun kecerdasan-kecerdasan masyarakatnya.[18]
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, hasil penelitian arkeologis secara langsung bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya aekeologi itu sendiri dan juga dapat memperkaya ilmu bantu lainnya seperti antropologi, biologi, kimia, geologi dan lainnya. Namun harus diingat bahwa informasi yang digunakan untuk menjelaskan masa lalu itu berdasarkan peninggalan masa lalu yang terbatas.[19]

Simpulan
Paradigma merupakan suatu kerangka konseptual, nilai, teknik dan metode yang disepakati dan digunakan oleh suatu komunitas untuk memahami semesta. Menurut Khun cara kerja paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktifitas ilmiah dalam masa ilmu normal. Kemudian menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Berikutnya peran ilmuan bisa kembali lagi pada cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktifitas ilmiah berikutnya. Tata cara untuk memperoleh dasar pembenaran dengan membuat ilmu pengetahuan memiliki kecenderungan besar untuk bertambah, berkembang, mengalami pemurnian kadar keberadaannya, suatu pengetahuan, kebenaran sering merupakan tantangan untuk pengujian, yang memang terbukti salah maupun benar. Paradigma dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, hasil penelitian arkeologis secara langsung bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.


Daftar Pustaka

Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal:Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan
Perspektif Sains Baru Memahami Semesta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Pfeffer, Jeffrey. 2008. Journal Barriers to the Advance of Organizational Science: Paradigm
Development as a Dependent Variable. Academy of Management.
Hamid, Zulkifley. 2006. Aplikasi  Psikolinguistik: Dalam Pengajaran dan Pembelajaran
Bahasa. Malaysia: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd.
Sudibyo, Lies, dkk. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Deepublish.
Semiawan, Commy, dkk. 2005. Panorama Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Mizan Publika.
Wiradnyana, Ketut. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara Konstribusinya Pada          Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.



[1] Lies Sudibyo, dkk, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Deepublish,2014), p.41.
[2]  Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal:Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan Perspektif Sains Baru Memahami Semesta, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka,2005), p.36.
[3] Jeffrey Pfeffer, Journal Barriers to the Advance of Organizational Science: Paradigm Development as a Dependent Variable, (Academy of Management,2008)
[4] Zulkifley Hamid, Aplikasi  Psikolinguistik: Dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa, (Malaysia: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd, 2006), p.42
[5] Zulkifley Hamid, Aplikasi  Psikolinguistik: Dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa, (Malaysia: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd, 2006), p.42
[6] Zulkifley Hamid, Aplikasi  Psikolinguistik: Dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa, (Malaysia: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd, 2006), p.42
[7] Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal:Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan Perspektif Sains Baru Memahami Semesta, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka,2005), p.36.

[8] Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal:Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan Perspektif Sains Baru Memahami Semesta, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka,2005), p.38.
[9] Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal:Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan Perspektif Sains Baru Memahami Semesta, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka,2005), p.38.
[10] Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal:Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan Perspektif Sains Baru Memahami Semesta, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka,2005), p.39.
[11] Lies Sudibyo, dkk, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Deepublish,2014), p.41.
[12] Lies Sudibyo, dkk, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Deepublish,2014), p.41.
[13] Lies Sudibyo, dkk, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Deepublish,2014), p.42.
[14] Lies Sudibyo, dkk, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Deepublish,2014), p.42.
[15] Commy Semiawan, dkk, Panorama Filsafat Ilmu, (Jakarta:PT Mizan Publika,2005), p.100.
[16] Commy Semiawan, dkk, Panorama Filsafat Ilmu, (Jakarta:PT Mizan Publika,2005), p.100.


[17] Commy Semiawan, dkk, Panorama Filsafat Ilmu, (Jakarta:PT Mizan Publika,2005), p.101.
[18] Ketut Wiradnyana, Prasejarah Sumatera Bagian Utara Konstribusinya Pada Kebudayaan Kini, (Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2011), p.283.
[19] Ketut Wiradnyana, Prasejarah Sumatera Bagian Utara Konstribusinya Pada Kebudayaan Kini, (Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2011), p.283.